PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
Ibrahim sangat menyadari bahwa Allah menguasai alam
semesta, tetapi pertanyaannya adalah: Apakah sumber
kekuatan itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau
suatu Wujud Yang Mahakuasa, yang lebih tinggi
daripadanya? Setelah mengkaji kondisi-kondisi benda
yang berubah-ubah ini, Ibrahim mendapatkan bahwa
wujud-wujud yang cerah dan bersinar itu sendiri tunduk
pada ketetapan -terbit, terbenam, dan lenyap- menurut
sistem tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak
berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka tunduk pada
kehendak dari sesuatu yang lain; suatu kekuatan yang
lebih besar dan lebih kuat mengontrol mereka dan
membuat mereka berotasi pada orbit yang telah
ditentukan.
Marilah kita bahas masalah ini lebih lanjut. Alam
semesta sepenuhnya memiliki "peluang-peluang" dan
"kebutuhan-kebutuhan." Berbagai makhluk dan fenomena
alami tak pernah lepas dari Yang Mahakuasa. Mereka
membutuhkan Tuhan Yang Mahatahu dalam setiap detik,
siang dan malam - Tuhan yang tidak pernah lalai akan
kebutuhan mereka. Benda-benda langit itu hadir dan
diperlukan pada suatu saat dan tak hadir serta tak
berguna pada saat lainnya. Wujud seperti itu tidak
mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan
dan wujud lainnya, untuk memenuhi kebutuhan dan
keperluan mereka
Teori ini dapat diperluas dalam bentuk berbagai
pernyataan teoritis dan filosofis. Misalnya, kita
mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan
berputar pada sumbunya masing-masing. Apabila
gerakannya itu tanpa pilihan dan atas paksaan
semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih kuat yang
mengendalikannya. Apabila gerakannya sesuai dengan
kehendaknya sendiri, haruslah dilihat apakah tujuan
dari gerakan itu. Apabila mereka bergerak untuk
mencapai kesempurnaan, seperti benih yang bangkit dari
bumi untuk tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu
berarti mereka memerlukan suatu wujud yang independen,
kuasa, dan bijaksana yang akan menyingkirkan
kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada
mereka sifat kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi
mereka menuju kepada kelemahan dan kekurangan, dan
halnya seperti orang yang melewati usia puncaknya dan
memasuki sisi usia yang salah, maka itu berarti
gerakannya cenderung kepada kemunduran dan kehancuran,
dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi sebagai
tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.
METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
Sejarah para nabi menunjukkan bahwa mereka memulai
program reformasi dengan mengundang para anggota
keluarga mereka kepada jalan yang benar, kemudian
mereka memperluas dakwah itu kepada orang lain. Ini
pulalah yang dilakukan Nabi Muhammad segera setelah
beliau ditunjuk sebagai nabi. Pertama-tama beliau
mengajak kaumnya sendiri kepada Islam, dan meletakkan
fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai dengan
perintah Allah, "Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS, asy-Syu'ara',
26:2l3)
Ibrahim juga mengambil metode yang sama. Mula-mula
beliau berusaha mereformasi kaum kerabatnya. Azar
menduduki posisi yang sangat tinggi di kalangan
familinya, karena, selain terpelajar dan seorang
seniman, ia juga ahli astrologi. Di istana Namrud,
kata-katanya sangat berpengaruh, dan
kesimpulan-kesimpulan astrologinya diterima semua
penghuni istana.
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar ke
pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari para
penyembah berhala. Oleh karena itu, ia menasihatinya
dengan cara sebaik mungkin supaya tidak mcnyembah
benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa alasan, Azar
tidak menerima ajakan dan nasihat Ibrahim. Namun,
sejauh berhubungan dengan kita, hal terpenting dalam
episode ini ialah metode dakwah dan bentuk percakapan
Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam dan cermat
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang merekam percakapan
ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para nabi
itu menjadi amat sangat jelas. Marilah kita lihat
bagaimana Ibrahim mengajak Azar kepada jalan yang
benar:
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai
ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar; tidak melihat, dan tidak menolong kamu
sedikitpun. Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang
kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang
kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai
ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan
ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga
jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
Sebagai jawaban atas ajakan Ibrahim, Azar berkata,
"Beranikah engkau menyangkal tuhan-tuhanku, hai
Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu! Kalau tidak,
engkau akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari
rumahku!"
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata kasar Azar
ini dengan ketenangan sempurna seraya menjawab, "Salam
atasmu. Aku akan memohon kepada Tuhanku untuk
mengampunimu."
Adakah jawaban yang lebih pantas dan ucapan yang lebih
patut daripada kata-kata Ibrahim ini?
APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?
Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15) surah
at-Taubah dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi
kesan hubungan Azar dengan Ibrahim sebagai ayah dan
anak. Namun, perlu diinformasikan di sini bahwa dari
perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai ayah
Ibrahim tidaklah sesuai dengan konsensus para ulama
mereka yang percaya bahwa nenek moyang Nabi Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang
beriman tauhid. Ulama besar Syi'ah, Syekh Mufid,
memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang
disepakati seluruh ulama Syi'ah dan sejumlah besar
ulama Sunni (lihat Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh
karena itu, timbul pertanyaan: Apakah sesungguhnya
maksud ayat-ayat yang nampak jelas itu, dan bagaimana
masalah ini harus dipecahkan?
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata
ab dalam bahasa Arab biasanya digunakan dalam arti
"ayah," kadang-kadang kata itu juga digunakan dalam
leksikon Arab dan terminologi Al-Qur'an dalam arti
"paman." Dalam ayat berikut, misalnya, kata ab berarti
"paman"
"Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan
[tanda-tanda] maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
ab-Smu, [yakni] Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq, [yaitu]
Tuhan Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya." (QS, al-Baqarah, 2:133)
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan
ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang saudara
Isma'il. Walaupun demikian, putra-putra Ya'qub
memanggilnya "ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata
ini mengandung dua makna, maka pada ayat-ayat yang
berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan yang benar
oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah
"paman." Dan boleh jadi pula Ibrahim memanggilnya
"ayah," karena ia telah bertindak sebagai wali baginya
dalam waktu yang panjang, dan Ibrahim memandangnya
sebagai ayahnya.
AZAR DALAM AL-QUR'AN
Dengan maksud untuk mendapatkan keputusan Al-Qur'an
tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami merasa perlu
mengundang perhatian pembaca pada keterangan dua ayat:
1. Sebagai akibat usaha keras Nabi, Arabia disinari
cahaya Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini
dengan sepenuh hati, dan menyadari bahwa syirik dan
pemujaan berhala akan berakhir di neraka. Walaupun
mereka bahagia karena telah memasuki agama yang benar,
mereka merasa sedih mengingat nenek moyang mereka
yang penyembah berhala. Mendengar ayat-ayat yang
menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan,
terasa berat bagi mereka. Untuk menjauhkan siksaan
mental ini, mereka memohon kepada Nabi untuk berdoa
kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang
telah mati sebagai orang kafir, sama sebagaimana
Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun, ayat berikut
diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang
musyrik, walaupun orang musyrik itu adalah kaum
kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk
ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas
bagi Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah,
Ibrahim pun berlepas diri darinya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
bagi penyantun." (QS, at-Taubah, 9:113-114)
Akan nampak lebih masuk akal apabila percakapan
Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar untuk
mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan
putusnya hubungan serta perpisahan mereka, terjadi
ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih
tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina,
Mesir, dan Hijaz. Setelah mengkaji ayat ini, dapat
disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan
penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda,
memutuskan hubungannya dengan Azar dan tak pernah
memikirkannya lagi sesudah itu.
2. Di bagian terakhir masa hidupnya, yakni ketika ia
telah lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian besar
tugasnya (yakni pembangunan Ka'bah) dan membawa istri
dan anaknya ke gurun kering Mekah, ia berdoa dari lubuk
hatinya bagi sejumlah orang, termasuk kedua orang
tuanya, dan memohon agar doanya dikabulkan Allah. Pada
waktu itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah
aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang mukmin pada
hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS, Ibrahim
14:41)
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa doa itu
diucapkan setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika
Ibrahim sudah berada di usia tuanya. Apabila sang ayah
dalam ayat ini, yang kepadanya telah ia persembahkan
cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar itu,
maka ini akan berarti bahwa Ibrahim tidak berlepas diri
darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau juga
berdoa untuknya. Padahal, ayat pertama, yang diwahyukan
sebagai jawaban atas permohonan para keturunan
musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu waktu,
ketika ia masih muda, Ibrahim telah memutuskan segala
hubungan dengan Azar dan menjauh darinya - berlepas
diri berarti tidak lagi saling berbicara, tidak peduli,
dan tidak saling mendoakan keselamatan.
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama, terlihat jelas
bahwa orang yang dibenci Ibrahim di usia mudanya, yang
dengannya ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan
cinta, bukanlah orang yang diingatnya hingga usia
tuanya, yang untuk keampunan dan keselamatannya ia
berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal. 319; al-Mizan,
VII, 170).
IBRAHIM, SI PENGHANCUR BERHALA
Saat perayaan mendekat, penduduk Babilon berangkat ke
hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga mereka,
dan melaksanakan upacara perayaan itu. Kota menjadi
sepi. Perbuatan Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah
mencemaskan mereka. Karena itu, mereka mendesak Ibrahim
untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara
perayaan. Namun, usul dan desakan mereka datang
bertepatan dengan sakitnya Ibrahim. Karena itu, sebagai
jawabannya, Ibrahim mengatakan sedang sakit dan tak
akan menyertai upacara perayaan itu.
Sesungguhnya, itulah hari gembira bagi sang tokoh
tauhid, sebagaimana bagi para musyrik itu. Bagi kaum
musyrik, itu adalah pesta perayaan yang sangat tua.
Mereka pergi ke kaki gunung di lapangan-lapangan hijau
untuk melaksanakan upacara perayaan dan menghidupkan
adat kebiasaan nenek moyang mereka. Bagi si jawara
tauhid, hari itu pun merupakan hari raya besar pertama
yang telah lama dirindukannya, untuk menghancurkan
manifestasi kekafiran dan kemusyrikan, ketika kota
sedang bersih dan lawan-lawannya.
Ketika "keloter" terakhir penduduk meninggalkan kota,
Ibrahim merasa bahwa saat itulah kesempatannya. Dengan
hati penuh keyakinan dan iman kepada Allah, beliau
memasuki rumah berhala. Di dalamnya beliau menemukan
penggalan-penggalan kayu berpahat, berhala-berhala yang
tak bernyawa. Ia ingat akan banyaknya makanan yang
biasa dibawa oleh para penyembah berhala ke kuil mereka
sebagai sajian untuk beroleh rahmat. Beliau lalu
mengambil sepiring roti yang ada di situ. Sambil
mengunjukkannya kepada berhala-berhala itu, beliau
berkata mengejek, "Mengapa tidak kamu makan segala
macam makanan ini?" Tentulah tuhan buatan kaum musyrik
itu tak mampu bergerak sedikit pun, apalagi memakan
sesuatu. Keheningan membisu menguasai kuil berhala yang
luas itu, yang hanya terpecah oleh pukulan-pukulan
keras Ibrahim pada tangan, kaki, dan tubuh
berhala-berhala itu. Ia menghancurkan semua berhala
itu, hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang
berhamburan di tengah kuil itu. Tetapi, ia membiarkan
berhala yang paling besar, lalu meletakkan kapak di
bahunya. Ini dilakukannya dengan sengaja. Ia tahu bahwa
ketika kembali dari hutan, kaum musyrik akan memahami
kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi yang
nampak itu sebagai sengaja dibuat-buat, karena tak akan
mungkin mereka percaya bahwa penghancuran
berhala-berhala lain itu telah dilakukan oleh berhala
besar yang sama sekali tak berdaya untuk bergerak atau
melakukan sesuatu. Pada saat itu, beliau pun akan
menggunakan situasi itu untuk dakwah. Mereka sendiri
akan mengaku bahwa berhala itu sama sekali tidak
mempunyai kekuatan. Maka bagaimana mungkin ia akan
menjadi penguasa dunia?
Matahari bergerak turun di cakrawala. Orang mulai
pulang berkelompok-kelompok ke kota. Waktu untuk
melaksanakan upacara pemujaan berhala pun tiba, dan
sekelompok penyembah berhala memasuki kuil. Pemandangan
yang tak terduga, yang dengan jelas menunjukkan
nistanya dan rendahnya tuhan-tuhan mereka,
menghentakkan mereka semua. Hening seperti maut
meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi, salah
seorang di antara mereka memecahkan kesunyian dengan
berkata, "Siapa yang telah melakukan kejahatan ini?"
Kutukan terhadap berhala oleh Ibrahim di waktu lalu,
dan kecamannya yang terang-terangan terhadap pemujaan
berhala, meyakinkan mereka bahwa hanya dialah yang
mungkin melakukan semua itu. Sidang pengadilan pun
diadakan di bawah pengawasan Namrud, dan si remaja
Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.
Si ibu dituduh menyembunyikan kelahiran anaknya dan
tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk
dibunuh. Ia memberikan jawaban atas tuduhan itu, "Saya
menyimpulkan bahwa sebagai akibat keputusan terakhir
pemerintah waktu itu -yakni pembunuhan anak-anak-
manusia di negara ini sedang dimusnahkan. Saya tidak
memberitahukan kepada kantor pemerintah tentang putra
saya, karena saya hendak melihat bagaimana ia maju di
masa depan. Apabila ia membuktikan diri sebagai orang
yang telah diramalkan para pendeta peramal itu, akan
ada alasan bagi saya untuk melaporkannya kepada polisi
agar mereka tidak lagi menumpahkan darah anak-anak
lain. Dan apabila ia ternyata bukan orang itu, maka
saya telah menyelamatkan seorang muda di negara ini
dari pembunuhan." Argumen ibu itu sangat memuaskan para
hakim.
Sekarang Ibrahim diperiksa. "Keadaan menunjukkan bahwa
berhala besar telah melakukan semua pukulan itu. Dan
apabila berhala itu dapat berkata, sebaiknya Anda
tanyakan kepadanya." Jawaban bernada ejekan dan
penghinaan ini dimaksudkan untuk mencapai sasaran lain.
Ibrahim yakin bahwa orang-orang itu akan berkata,
"Ibrahim! Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala
itu tak dapat berbicara. Mereka pun tidak mempunyai
kehendak atau akal." Dalam hal itu, Ibrahim dapat
meminta perhatian sidang pengadilan tentang satu hal
yang mendasar. Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan
yang diharapkannya. Sehubungan dengan pernyataan
orang-orang itu yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan tidak berdayanya berhala-berhala itu, Ibrahim
berkata, "Apabila mereka memang demikian, mengapa kamu
menyembah dan berdoa kepada mereka untuk mengabulkan
permohonan kamu?"
Kejahilan, keras kepala, dan peniruan membuta menguasai
hati dan pikiran para hakim. Terhadap jawaban Ibrahim
yang tak terbantah itu, mereka tidak beroleh pilihan
lain kecuali memberikan keputusan yang sesuai dengan
keinginan pemerintah masa itu. Ibrahim harus dibakar
hidup-hidup.
Setumpukan besar kayu bakar dinyalakan, dan jawara
tauhid itu dilemparkan ke dalam api yang berkobar.
Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih dan
rahmat-Nya kepada Ibrahim dan menjadikanNya kebal.
Allah mengubah neraka buatan manusia itu menjadi taman
hijau yang sejuk.
oleh Ja'far Subhani, hal. 50 - 69
Judul buku: AR-RISALAH
>>> Sejarah Retorika <<<
Terima kasih karena berkomentar dengan penuh etika
jangan lupa klik like fanspage facebook yah..
EmoticonEmoticon