-->

Tuesday, December 6, 2011

LOGIKA NABI


PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
 
Ibrahim  sangat  menyadari  bahwa  Allah menguasai alam
semesta, tetapi  pertanyaannya  adalah:  Apakah  sumber
kekuatan  itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau
suatu  Wujud  Yang   Mahakuasa,   yang   lebih   tinggi
daripadanya?  Setelah  mengkaji  kondisi-kondisi  benda
yang  berubah-ubah  ini,  Ibrahim   mendapatkan   bahwa
wujud-wujud  yang cerah dan bersinar itu sendiri tunduk
pada ketetapan -terbit, terbenam, dan  lenyap-  menurut
sistem  tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak
berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka tunduk  pada
kehendak  dari  sesuatu  yang lain; suatu kekuatan yang
lebih  besar  dan  lebih  kuat  mengontrol  mereka  dan
membuat   mereka   berotasi   pada   orbit  yang  telah
ditentukan.
 
Marilah kita  bahas  masalah  ini  lebih  lanjut.  Alam
semesta   sepenuhnya   memiliki  "peluang-peluang"  dan
"kebutuhan-kebutuhan." Berbagai  makhluk  dan  fenomena
alami  tak  pernah  lepas  dari  Yang Mahakuasa. Mereka
membutuhkan Tuhan Yang  Mahatahu  dalam  setiap  detik,
siang  dan  malam  - Tuhan yang tidak pernah lalai akan
kebutuhan mereka.  Benda-benda  langit  itu  hadir  dan
diperlukan  pada  suatu  saat  dan  tak hadir serta tak
berguna pada saat  lainnya.  Wujud  seperti  itu  tidak
mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan
dan  wujud  lainnya,  untuk  memenuhi   kebutuhan   dan
keperluan mereka
 
Teori   ini   dapat  diperluas  dalam  bentuk  berbagai
pernyataan  teoritis  dan  filosofis.  Misalnya,   kita
mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan
berputar   pada   sumbunya    masing-masing.    Apabila
gerakannya   itu   tanpa   pilihan   dan  atas  paksaan
semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih  kuat  yang
mengendalikannya.   Apabila  gerakannya  sesuai  dengan
kehendaknya sendiri,  haruslah  dilihat  apakah  tujuan
dari   gerakan   itu.  Apabila  mereka  bergerak  untuk
mencapai kesempurnaan, seperti benih yang bangkit  dari
bumi  untuk  tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu
berarti mereka memerlukan suatu wujud yang  independen,
kuasa,    dan   bijaksana   yang   akan   menyingkirkan
kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada
mereka  sifat  kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi
mereka menuju  kepada  kelemahan  dan  kekurangan,  dan
halnya  seperti  orang yang melewati usia puncaknya dan
memasuki  sisi  usia  yang  salah,  maka  itu   berarti
gerakannya  cenderung kepada kemunduran dan kehancuran,
dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi  sebagai
tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.
 
METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
 
Sejarah  para  nabi  menunjukkan  bahwa  mereka memulai
program  reformasi  dengan  mengundang   para   anggota
keluarga  mereka  kepada  jalan  yang  benar,  kemudian
mereka memperluas dakwah itu  kepada  orang  lain.  Ini
pulalah  yang  dilakukan  Nabi  Muhammad segera setelah
beliau  ditunjuk  sebagai  nabi.  Pertama-tama   beliau
mengajak  kaumnya  sendiri kepada Islam, dan meletakkan
fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai  dengan
perintah   Allah,   "Dan   berilah   peringatan  kepada
kerabat-kerabatmu yang  terdekat."  (QS,  asy-Syu'ara',
26:2l3)
 
Ibrahim  juga  mengambil  metode  yang  sama. Mula-mula
beliau  berusaha  mereformasi  kaum  kerabatnya.   Azar
menduduki   posisi   yang  sangat  tinggi  di  kalangan
familinya,  karena,  selain  terpelajar   dan   seorang
seniman,  ia  juga  ahli  astrologi.  Di istana Namrud,
kata-katanya       sangat       berpengaruh,        dan
kesimpulan-kesimpulan   astrologinya   diterima   semua
penghuni istana.
 
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar  ke
pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari para
penyembah berhala. Oleh karena  itu,  ia  menasihatinya
dengan  cara  sebaik  mungkin  supaya  tidak  mcnyembah
benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa alasan,  Azar
tidak  menerima  ajakan  dan  nasihat  Ibrahim.  Namun,
sejauh berhubungan dengan kita,  hal  terpenting  dalam
episode  ini  ialah metode dakwah dan bentuk percakapan
Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam  dan  cermat
terhadap  ayat-ayat  Al-Qur'an  yang merekam percakapan
ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para  nabi
itu  menjadi  amat  sangat  jelas.  Marilah  kita lihat
bagaimana  Ibrahim  mengajak  Azar  kepada  jalan  yang
benar:
 
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai
ayahku,  mengapa  kamu  menyembah  sesuatu  yang  tidak
mendengar;  tidak  melihat,  dan  tidak  menolong  kamu
sedikitpun. Wahai  ayahku,  sesungguhnya  telah  datang
kepadaku  sebagian  ilmu  pengetahuan yang tidak datang
kepadamu,  maka  ikutilah   aku,   niscaya   aku   akan
menunjukkan  kepadamu  jalan  yang lurus. Wahai ayahku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya  syaitan
itu  durhaka  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Pemurah. Wahai
ayahku,  sesungguhnya  aku  khawatir  bahwa  kamu  akan
ditimpa  azab  dan  Tuhan  Yang  Maha Pemurah, sehingga
jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
 
Sebagai jawaban  atas  ajakan  Ibrahim,  Azar  berkata,
"Beranikah   engkau   menyangkal   tuhan-tuhanku,   hai
Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu!  Kalau  tidak,
engkau  akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari
rumahku!"
 
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata  kasar  Azar
ini  dengan ketenangan sempurna seraya menjawab, "Salam
atasmu.  Aku  akan   memohon   kepada   Tuhanku   untuk
mengampunimu."
 
Adakah  jawaban yang lebih pantas dan ucapan yang lebih
patut daripada kata-kata Ibrahim ini?
 
APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?
 
Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15)  surah
at-Taubah  dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi
kesan hubungan Azar dengan  Ibrahim  sebagai  ayah  dan
anak.  Namun,  perlu  diinformasikan di sini bahwa dari
perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai  ayah
Ibrahim  tidaklah  sesuai  dengan  konsensus para ulama
mereka yang percaya bahwa nenek  moyang  Nabi  Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang
beriman  tauhid.  Ulama  besar  Syi'ah,  Syekh   Mufid,
memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang
disepakati seluruh  ulama  Syi'ah  dan  sejumlah  besar
ulama  Sunni  (lihat  Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh
karena  itu,  timbul  pertanyaan:  Apakah  sesungguhnya
maksud  ayat-ayat  yang nampak jelas itu, dan bagaimana
masalah ini harus dipecahkan?
 
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata
ab  dalam  bahasa  Arab  biasanya  digunakan dalam arti
"ayah," kadang-kadang kata  itu  juga  digunakan  dalam
leksikon  Arab  dan  terminologi  Al-Qur'an  dalam arti
"paman." Dalam ayat berikut, misalnya, kata ab  berarti
"paman"
 
"Adakah    kamu    hadir   ketika   Ya'qub   kedatangan
[tanda-tanda]   maut,   ketika   ia   berkata    kepada
anak-anaknya,  'Apa  yang  kamu  sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
ab-Smu,  [yakni]  Ibrahim,  Isma'il, dan Ishaq, [yaitu]
Tuhan Yang  Maha  Esa,  dan  kami  hanya  tunduk  patuh
kepada-Nya." (QS, al-Baqarah, 2:133)
 
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan
ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang  saudara
Isma'il.    Walaupun   demikian,   putra-putra   Ya'qub
memanggilnya "ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata
ini  mengandung  dua  makna,  maka  pada ayat-ayat yang
berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan  yang  benar
oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah
"paman."  Dan  boleh  jadi  pula  Ibrahim  memanggilnya
"ayah,"  karena ia telah bertindak sebagai wali baginya
dalam waktu  yang  panjang,  dan  Ibrahim  memandangnya
sebagai ayahnya.
 
AZAR DALAM AL-QUR'AN
 
Dengan  maksud  untuk  mendapatkan  keputusan Al-Qur'an
tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami merasa perlu
mengundang perhatian pembaca pada keterangan dua ayat:
 
1. Sebagai akibat usaha keras Nabi, Arabia disinari
cahaya Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini
dengan sepenuh hati, dan menyadari bahwa syirik dan
pemujaan berhala akan berakhir di neraka. Walaupun
mereka bahagia karena telah memasuki agama yang benar,
mereka merasa sedih mengingat nenek moyang mereka
yang penyembah berhala. Mendengar ayat-ayat yang
menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan,
terasa berat bagi mereka. Untuk menjauhkan siksaan
mental ini, mereka memohon kepada Nabi untuk berdoa
kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang
telah mati sebagai orang kafir, sama sebagaimana
Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun, ayat berikut
diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
 
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang
musyrik, walaupun orang musyrik itu adalah kaum
kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk
ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas
bagi Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah,
Ibrahim pun berlepas diri darinya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
bagi penyantun." (QS, at-Taubah, 9:113-114)
 
Akan nampak lebih masuk akal apabila percakapan
Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar untuk
mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan
putusnya hubungan serta perpisahan mereka, terjadi
ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih
tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina,
Mesir, dan Hijaz. Setelah mengkaji ayat ini, dapat
disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan
penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda,
memutuskan hubungannya dengan Azar dan tak pernah
memikirkannya lagi sesudah itu.
 
2. Di bagian terakhir masa hidupnya, yakni ketika ia
telah lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian besar
tugasnya (yakni pembangunan Ka'bah) dan membawa istri
dan anaknya ke gurun kering Mekah, ia berdoa dari lubuk
hatinya bagi sejumlah orang, termasuk kedua orang
tuanya, dan memohon agar doanya dikabulkan Allah. Pada
waktu itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah
aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang mukmin pada
hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS, Ibrahim
14:41)
 
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa doa itu
diucapkan setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika
Ibrahim sudah berada di usia tuanya. Apabila sang ayah
dalam ayat ini, yang kepadanya telah ia persembahkan
cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar itu,
maka ini akan berarti bahwa Ibrahim tidak berlepas diri
darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau juga
berdoa untuknya. Padahal, ayat pertama, yang diwahyukan
sebagai jawaban atas permohonan para keturunan
musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu waktu,
ketika ia masih muda, Ibrahim telah memutuskan segala
hubungan dengan Azar dan menjauh darinya - berlepas
diri berarti tidak lagi saling berbicara, tidak peduli,
dan tidak saling mendoakan keselamatan.
 
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama, terlihat jelas
bahwa  orang yang dibenci Ibrahim di usia mudanya, yang
dengannya ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan
cinta,  bukanlah  orang  yang  diingatnya  hingga  usia
tuanya, yang  untuk  keampunan  dan  keselamatannya  ia
berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal. 319; al-Mizan,
VII, 170).
 
IBRAHIM, SI PENGHANCUR BERHALA
 
Saat perayaan mendekat, penduduk Babilon  berangkat  ke
hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga mereka,
dan melaksanakan upacara  perayaan  itu.  Kota  menjadi
sepi.  Perbuatan  Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah
mencemaskan mereka. Karena itu, mereka mendesak Ibrahim
untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara
perayaan.  Namun,  usul  dan  desakan   mereka   datang
bertepatan dengan sakitnya Ibrahim. Karena itu, sebagai
jawabannya, Ibrahim mengatakan  sedang  sakit  dan  tak
akan menyertai upacara perayaan itu.
 
Sesungguhnya,  itulah  hari  gembira  bagi  sang  tokoh
tauhid, sebagaimana bagi para musyrik  itu.  Bagi  kaum
musyrik,  itu  adalah  pesta  perayaan yang sangat tua.
Mereka pergi ke kaki gunung di lapangan-lapangan  hijau
untuk  melaksanakan  upacara  perayaan dan menghidupkan
adat kebiasaan nenek  moyang  mereka.  Bagi  si  jawara
tauhid,  hari itu pun merupakan hari raya besar pertama
yang  telah  lama  dirindukannya,  untuk  menghancurkan
manifestasi  kekafiran  dan  kemusyrikan,  ketika  kota
sedang bersih dan lawan-lawannya.
 
Ketika "keloter" terakhir penduduk  meninggalkan  kota,
Ibrahim  merasa bahwa saat itulah kesempatannya. Dengan
hati penuh keyakinan  dan  iman  kepada  Allah,  beliau
memasuki  rumah  berhala.  Di dalamnya beliau menemukan
penggalan-penggalan kayu berpahat, berhala-berhala yang
tak  bernyawa.  Ia  ingat  akan  banyaknya makanan yang
biasa dibawa oleh para penyembah berhala ke kuil mereka
sebagai   sajian  untuk  beroleh  rahmat.  Beliau  lalu
mengambil  sepiring  roti  yang  ada  di  situ.  Sambil
mengunjukkannya   kepada  berhala-berhala  itu,  beliau
berkata mengejek,  "Mengapa  tidak  kamu  makan  segala
macam  makanan ini?" Tentulah tuhan buatan kaum musyrik
itu tak mampu bergerak  sedikit  pun,  apalagi  memakan
sesuatu. Keheningan membisu menguasai kuil berhala yang
luas itu,  yang  hanya  terpecah  oleh  pukulan-pukulan
keras    Ibrahim   pada   tangan,   kaki,   dan   tubuh
berhala-berhala itu.  Ia  menghancurkan  semua  berhala
itu,  hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang
berhamburan di tengah kuil itu. Tetapi,  ia  membiarkan
berhala  yang  paling  besar,  lalu meletakkan kapak di
bahunya. Ini dilakukannya dengan sengaja. Ia tahu bahwa
ketika  kembali  dari hutan, kaum musyrik akan memahami
kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi  yang
nampak itu sebagai sengaja dibuat-buat, karena tak akan
mungkin    mereka    percaya     bahwa     penghancuran
berhala-berhala  lain  itu telah dilakukan oleh berhala
besar yang sama sekali tak berdaya untuk bergerak  atau
melakukan  sesuatu.  Pada  saat  itu,  beliau  pun akan
menggunakan situasi itu untuk  dakwah.  Mereka  sendiri
akan  mengaku  bahwa  berhala  itu  sama  sekali  tidak
mempunyai kekuatan.  Maka  bagaimana  mungkin  ia  akan
menjadi penguasa dunia?
 
Matahari  bergerak  turun  di  cakrawala.  Orang  mulai
pulang  berkelompok-kelompok  ke  kota.   Waktu   untuk
melaksanakan  upacara  pemujaan  berhala  pun tiba, dan
sekelompok penyembah berhala memasuki kuil. Pemandangan
yang   tak   terduga,  yang  dengan  jelas  menunjukkan
nistanya    dan    rendahnya    tuhan-tuhan     mereka,
menghentakkan   mereka   semua.   Hening  seperti  maut
meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi,  salah
seorang  di  antara  mereka memecahkan kesunyian dengan
berkata, "Siapa yang telah  melakukan  kejahatan  ini?"
Kutukan  terhadap  berhala  oleh Ibrahim di waktu lalu,
dan kecamannya yang terang-terangan  terhadap  pemujaan
berhala,  meyakinkan  mereka  bahwa  hanya  dialah yang
mungkin melakukan  semua  itu.  Sidang  pengadilan  pun
diadakan  di  bawah  pengawasan  Namrud,  dan si remaja
Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.
 
Si ibu dituduh  menyembunyikan  kelahiran  anaknya  dan
tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk
dibunuh. Ia memberikan jawaban atas tuduhan itu,  "Saya
menyimpulkan  bahwa  sebagai  akibat keputusan terakhir
pemerintah  waktu  itu  -yakni  pembunuhan   anak-anak-
manusia  di  negara  ini sedang dimusnahkan. Saya tidak
memberitahukan kepada kantor pemerintah  tentang  putra
saya,  karena  saya hendak melihat bagaimana ia maju di
masa depan. Apabila ia membuktikan diri  sebagai  orang
yang  telah  diramalkan  para pendeta peramal itu, akan
ada alasan bagi saya untuk melaporkannya kepada  polisi
agar  mereka  tidak  lagi  menumpahkan  darah anak-anak
lain. Dan apabila ia ternyata  bukan  orang  itu,  maka
saya  telah  menyelamatkan  seorang  muda di negara ini
dari pembunuhan." Argumen ibu itu sangat memuaskan para
hakim.
 
Sekarang  Ibrahim diperiksa. "Keadaan menunjukkan bahwa
berhala besar telah melakukan semua  pukulan  itu.  Dan
apabila  berhala  itu  dapat  berkata,  sebaiknya  Anda
tanyakan  kepadanya."  Jawaban   bernada   ejekan   dan
penghinaan ini dimaksudkan untuk mencapai sasaran lain.
Ibrahim  yakin  bahwa  orang-orang  itu  akan  berkata,
"Ibrahim!  Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala
itu tak dapat berbicara.  Mereka  pun  tidak  mempunyai
kehendak  atau  akal."  Dalam  hal  itu,  Ibrahim dapat
meminta perhatian sidang pengadilan  tentang  satu  hal
yang  mendasar. Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan
yang  diharapkannya.   Sehubungan   dengan   pernyataan
orang-orang  itu  yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan  tidak  berdayanya  berhala-berhala  itu,   Ibrahim
berkata,  "Apabila mereka memang demikian, mengapa kamu
menyembah dan berdoa kepada  mereka  untuk  mengabulkan
permohonan kamu?"
 
Kejahilan, keras kepala, dan peniruan membuta menguasai
hati dan pikiran para hakim. Terhadap  jawaban  Ibrahim
yang  tak  terbantah  itu, mereka tidak beroleh pilihan
lain kecuali memberikan keputusan  yang  sesuai  dengan
keinginan  pemerintah  masa  itu. Ibrahim harus dibakar
hidup-hidup.
 
Setumpukan besar  kayu  bakar  dinyalakan,  dan  jawara
tauhid  itu  dilemparkan  ke  dalam  api yang berkobar.
Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih dan
rahmat-Nya  kepada  Ibrahim  dan  menjadikanNya  kebal.
Allah mengubah neraka buatan manusia itu menjadi  taman
hijau yang sejuk.


oleh Ja'far Subhani, hal. 50 - 69
Judul buku: AR-RISALAH
 
>>> Sejarah Retorika <<< 

Terima kasih karena berkomentar dengan penuh etika
jangan lupa klik like fanspage facebook yah..
EmoticonEmoticon