Oleh: Agus Basri (Abi)
Bagi penulis berbicara tentang Mahasiswa memiliki banyak sisi, yang mana sisi-sisi tersebut sangat susah untuk dijelaskan dan diakumulasi dalam goresan-goresan pena sekalipun. Yang pada saat tertentu sisi-sisi tersebut pula akan mampu membentuk kepribadian kita. Betapa tidak, mahasiswa dalam stratafikasi sosial, yang berada pada tingkatan kelas menengah adalah posisi yang memiliki ruang yang luas untuk berbaur dan berinteraksi dengan kelas di atasnya (kaum elit) dan kelas dibawahnya (kaum marginal/awam). Sisi ini pula yang menjadikan seorang Mahasiswa mampu berperan ganda dalam masyarakat, terkadang dia berperan sebagai golongan kelas bawah yang selalu melakukan protes terhadap kebijakan dan tingkah laku kelas elit yang begitu merugikan, terkadang pula seorang Mahasiswa mampu berperan sebagai golongan kelas elit yang memiliki rasa perhatian dan memberikan pencerahan terhadap kaum awam. Hingga siapapun juga, mungkin akan merasa bangga menjadi seorang Mahasiswa.
Dalam kaitannya dengan sketsa di atas, maka Knopfemacher memberikan defenisi (dalam Suwono, 1978) bahwa mahasiswa adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi ( yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual. Karena mahasiswa selalu menyatu dengan masayarakat, sehingga apapun yang dirasakan oleh masyarakat di sekelilingnya, mereka mampu menerjemahkan perasaan itu dan membawanya pada ruang-ruang intelektual (diskusi) yang melahirkan segudang pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya memunculkan sebuah kesimpulan untuk melakukan gerak perjuangan atau solusi.
Wajar, bila dalam sejarah dicatat bahwa Mahasiswa tak bisa dipisahkan dari proses Bangsa ini meraih kemerdekaan. Hal ini berdasarkan bukti-bukti sejarah bahwa gerakan perlawanan terhadap Bangsa Imperialis pertama kali muncul dan dipelopori oleh kaum atau organisasi pelajar yaitu Boedi utomo pada tahun 1908. Gerakan yang dipelopori oleh Boedi Utomo tersebut ternyata mampu membangkitkan semangat dan merangsang lahirnya gerakan-gerakan perlawan selanjutnya.
Arah gerak perjuangan Mahasiswa
Dengan demikian nampak jelas bahwa kaum terpelajar pada waktu Indonesia belum diproklamirkan sebagai bangsa yang berdaulat, memiliki arah tujuan yang satu yaitu merdeka dari kaum penjajah yang terwujud dalam sikap Nasionalisme kebangsaan. Maka pertanyaan selanjutnya, kemana arah tujuan Mahasiswa Indonesia saat ini setelah diproklamirkannya Indonesia sebagai Bangsa yang berdaulat pada 65 tahun yang lalu?
Fenomena Gerak-perjuangan Mahasiswa Indonesia
Pasca kemerdekaan Bangsa Indonesia, gerak-gerik perjuangan Mahasiswa Indonesia dapat dikelompokkan pada beberapa fase. Fase 1947 lahirnya beberapa organisasi kemahasiswaan yang bertujuan mengawal kemerdekaan dari ronrongan PKI dan penguatan intelektual lewat sebuah wadah yang dipelopori oleh Lafran Pane yaitu Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), fase (1960-1980) yang ditandai dengan munculnya sekelumit persoalan dan kritikan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berstatus Quo dan merugikan rakyat, selanjutnya fase reformasi pada tahun 2008, adalah gerak perlawanan yang dibangun Mahasiswa Indonesia sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah yang dianggap gagal menanggulangi krisis ekonomi pada waktu itu dan berakhir pada jatuhnya rezim Soeharto (Orde Baru).
Gambaran–gambaran sejarah di atas begitu jelas bahwa sampai pada tahun 2008 visi Mahasiswa Indonesia masih berpegang teguh dan berada pada ranah sikap Nasionalisme, sikap cinta terhadap Bangsa yang melahirkan kekuatan bagi kaum Intelektual untuk selalu menerjang dan merobohkan tembok-tembok yang menjadi arah perkembangan Bangsa, untuk menuju bangsa yang makmur dan sejahtera.
Lalu bagaimana dengan Mahasiswa saat ini? Benarkah cerita orang bahwa Mahasiswa saat ini hanya tahu merusak..! Benar dan salahnya pendapat dan penilaian mereka terhadap Mahasiswa semua kembali kepada Mahasiswa itu sendiri.
Reformulasi Gerak Perjuangan Mahasiswa
Di tengah munculnya berbagai ungkapan minus terhadap kejatidirian kaum Intelektual, maka diperlukan langkah-langkah kongkrit sebagai upaya mengembalikan citra yang dulunya baik di mata mereka. Reformulasi gerak perjuangan sedini mungkin harus dilakukan. Bagi penulis langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengembalikan budaya intelektual Mahasiswa yang selama ini nyaris hilang dalam sebuah perguruan tinggi. Kaum intelektual saat ini terjebak oleh budaya hedonisme yang merupakan rangkaian globalisasi dan postmodernisme yang dalam pandangan Baudrillard disebut era Alienasi Radikal. Hanya dengan kembali pada budaya Intelektual kita mampu mengkaji segala persoalan-persoalan dalam jalur logis dan rasional, sehingga kita tidak terperangkap pada lubang yang salah. Langkah kedua adalah mengasah dan menghadirkan kembali kecerdasan Spiritual dalam Qalbu yaitu sebagai penuntun bagi kita dalam melakukan tindak dan perilaku. Robert K Cooper menjelaskan bahwa Qalbu (hati) mengaktifkan nilai-nilai kiat yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi kita jalani. Qalbu mampu mengetahui hal-hal mana yang tidak boleh.
Wallahu a’lam bissawab
wassalam
Terima kasih karena berkomentar dengan penuh etika
jangan lupa klik like fanspage facebook yah..
EmoticonEmoticon