Oleh :
Andi Jusmiana S.Pd
(Ketua KOPMA UIN Periode 2008 - 2009)
Perempuan merupakan benda hidup yang
tak pernah pupus untuk diperbincangkan. Suatu topik yang selalu hangat serta
selalu memancing kita untuk berpikir yang sebenarnya. Sosok ini biasa
diidentikkan dengan kecantikannya, sensitif, keanggunan, ataupun kelembutan
yang senantiasa melekat dalam dirinya. Hal inilah yang menjadikannya berbeda
dari yang lawan jenisnya. Sering dijadikan sebagai kekayaan tersendiri namun
juga sebagai bumerang tersendiri baginya tergantung bagaimana memaknai nikmat
yang diberikan sang pencipta. Meski sekian banyak argumen yang muncul ketika
kita membahas mengenai perempuan namun untuk mendefenisikannya secara pasti
kita takkan pernah mampu. Seperti salah satu ungkapan yang sering te
niang di pendengaran kit
a bahwa “mencintai seorang perempuan mencukupi seorang laki-laki, tetapi untuk memahaminya seribu (lelaki) pun belum cukup”. Hanya sekedar ungkapan namun cukup membuat kita sejena
k berpikir, Benarkah…???. Disisi lain tak dapat dipungkiri bahwa laki-laki pun
demikian adanya.
niang di pendengaran kit
a bahwa “mencintai seorang perempuan mencukupi seorang laki-laki, tetapi untuk memahaminya seribu (lelaki) pun belum cukup”. Hanya sekedar ungkapan namun cukup membuat kita sejena
k berpikir, Benarkah…???. Disisi lain tak dapat dipungkiri bahwa laki-laki pun
demikian adanya.
Sebagai seorang perempuan penulis beranggapan bahwa Tak ada
salahnya ketika kita mengkaji diri kita sendiri. Dalam ungkapan para filosof
dan orang bijak masa lalu dikatakan, “Kenali
dirimu melalui dirimu” atau “Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal
Tuhannya”. Demikian pula yang dibahasakan dalam salah satu buku, yang
dikarang oleh Quraish sihab yang
kurang lebih bahwa, “seburuk-buruknya
sesuatu adalah perempuan namun
yang terburuk bahwa kita (laki-laki) membutuhkannya”.
yang terburuk bahwa kita (laki-laki) membutuhkannya”.
Wacana tentang perempuan memang
sangatlah luas, misalnya saja poligami, nikah mut’ah, politik, kesetaraan
gender, eksploitasi seks dan banyak lagi yang lainnya. Dalam setiap wacana
selalu saja menyingkap sisi-sisi sensitif pada perempuan, selalu mempertimbangkan
baik buruknya bagi perempuan. Yah, mungkin banyak yang beranggapan bahwa hal
itu terjadi karena perempuan begitu berharga, begitu anggun hingga
menjadikannya layak untuk dipertimbangkan. Namun tidak demikian adanya. akan
tetapi, hal itu terjadi tidak lain karena perempuanlah yang selalu dirugikan
dan termarjinalkan dalam setiap ranah pembicaraan maupun aplikasi. Sangat jarang
kita mendengar eksistensi lelaki menjadi pertimbangan yang serius dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan. Kalaupun sempat menjadi objek pembicaraan maka
itu menyangkut seluruh komponen kegiatan, maksud penulis bahwa kebijakan
berdasarkan kesanggupan kaum adam dengan kata lain bila cocok untuk kondisi
laki-laki maka terlaksanalah kegiatan itu namun ketika tidak maka lebih-lebih ketika
perempuan yang mengelolanya. Perempuan ibarat benalu yang ada menjadi masalah
dan ketika tidak ada maka akan jauh lebih baik.
Tak dapat dipungkiri budaya
patriarkhi masih memiliki ruang besar dibenak masyarakat kita. Kamus patriarkhi
yang meng-cover-kan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin karena ruwet, manja,
tidak konsisten, tidak mampu mengontrol dirinya sendiri menjadikan perempuan
semakin terpenjarakan, semakin tidak mampu berkembang. Eksistensi perempuan dimasa lampau sangat tidak diperdulikan (tidak direkeng, dalam bahasa makassar),
tidak hanya dahulu tetapi sekarang pun demikian. Bias lama tentang perempuan
masih saja merajalela dan bukan hal yang mudah untuk mengubahnya menjadi
perempuan sebagaimana perempuan, bukan hal yang gampang mengubah image
masyarakat tentang paham kesetaraan gender. Justru mereka memahami hal itulah
yang menyimpang dari yang semestinya. Dinasti bias lama masih sangat kuat bagi
mereka. Pernah sekali penulis diminta oleh salah seorang kerabat untuk mengundurkan
diri dari jabatan seorang ketua umum terpilih salah satu organisasi
kemahasiswaan. Yang sangat tidak dapat meyakinkan menurut hemat penulis adalah
alasan yang ditawarkan yakni bahwa “perempuan tak layak untuk menduduki jabatan ketua umum akan tetapi tempatnya
hanya dirumah”, tutur kerabat itu.
Sungguh hal yang tak pernah penulis duga ternyata bias lama itu masih
mendekam di pikiran sebahagian mahasiswa kita.
Sementara di balik itu mahasiswa lain selaku kaum intelektual tengah
menjalankan tugasnya, sibuk berjuang mengikis bias-bias itu.
Sangatlah wajar ketika
sebagian perempuan kita yang mengatas namakan dirinya pemerhati
perempuan mencoba mengikis sedikit demi sedikit budaya itu. Mereka maju
menuntut hak-haknya sebagai makhluk sosial dan makhluk ciptaan Tuhan serta
sebagai mitra kerja yang sejajar dengan laki-laki, demi tercapainya
kesejahteraan bersama. Muncullah istilah
kesetaraan gender, ada juga Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG), Pelatihan
sensitif Gender (PSG) serta banyak lagi yang lainnya. semua akan mengarah pada
perbandingan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan demi niat suci
terwujudnya keadilan. M. Quraish sihab dalam bukunya mengatakan bahwa, “Mengabaikan perempuan berarti mengabaikan
setengah dari potensi masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan
seluruh manusia, karena tidak seorangpun kecuali Adam dan Hawa yang tidak lahir
melalui seorang perempuan”. Di perpolitikan misalnya, sangat jelas kita
lihat hanya sebagian kecil kursi parlemen yang diduduki oleh kaum perempuan.
Bukan karena tidak mampu, bukan karena tidak mau akan tetapi karena tidak ada
kesempatan.
Syukur alhamdulillah, hari ini kebijakan pemerintah dengan
kuota 30% untuk perempuan di parlemen merupakan citra baru yang harus disambut
positif terutama di kalangan perempuan. Hal itu tampaknya mulai terealisasi
pada pemilihan umum (PEMILU). menjelang pesta demokrasi itu, Sekian banyak foto
calon legislatif perempuan turut meramaikan pinggiran jalan-jalan umum dengan baliho-balihonya. Potret anggun,
cantik serta slogan-slogan politiknya cukup membuat kita berdecap kagum dan
bangga. Namun sebagai bekas dari patriarkhi, masyarakat kita masih butuh
jawaban, “Akankah perempuan mampu menjalankan tugasnya dengan baik layaknya
teori-teori kesetaraan gender yang senantiasa diagung-agungkannya”??. Bukan hal
yang tidak mungkin menurut penulis. mari, ”buktikan wahai perempuanku”.
Terima kasih karena berkomentar dengan penuh etika
jangan lupa klik like fanspage facebook yah..
EmoticonEmoticon